A. Sejarah
Selayang Pandang Suku Dani
Suku Dani adalah sebuah suku yang
mendiami satu wilayah di Lembah Baliem, suku ini telah dikenal sejak ratusan
tahun lalu sebagai petani yang terampil dan mampu menggunakan alat atau
perkakas pertanian. Selain itu masyarakat Suku Dani telah mengenal teknologi
penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga
tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.
Mereka hidup diantara belukar, masih memelihara serta mengangkat babi sebagai
hewan peliharaannya atau bisa dikatan hewan buruannya. Masyarakat Suku Dani masih menggunakan teknologi
Neolitik dari dunia masa lalu. Saat ini, masyarakat Suku Dani masih banyak yang
menggunakan koteka yang terbuat dari kunden atau labu kuning dan para wanita
menggunakan pakaian wah yang berasal dari rumput atau serat dan tinggal di “honai-honai”. Upacara-upacara besar dan
keagamaan serta perang suku masih dilaksanakan meskipun tidak sebesar dahulu.
Salah satu kebiasaan unik lainnya
dari Suku Dani yaitu kebiasaan mendendangkan nyanyian-nyanyian heroisme dan
atau kisah-kisah sedih untuk menyemangati dan juga perintang waktu ketika
mereka bekerja. Alat musik yang mengiringi senandung atau dendang ini biasanya
berupa alat musik pikon, yakni satu
alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping
sebagai pengiring, alat musik ini juga berfungsi sebagai isyarat kepada teman
atau lawan ketika sedang berburu di hutan.
Nama Dani sebagai nama suku
diberikan oleh orang luar pada tahap-tahap awal suatu ekspedisi gabungan antara
Amerika dengan Belanda pada tahun 1926 oleh pimpinan bernama M.W. Striiling.
Arti nama itu dan asal-usul kata tersebut tidak memiliki kejelasan, namun
menurut Le Roux nama Dani berasal dari bahasa Moni yakni Ndani yang berarti “sebalah timur arah matahari terbit”. Para
penduduk asli sendiri tidak tahu siapa yang memberikan nama suku mereka.
Masyarakat di sebelah lembah besar mengenali Ndani dalam pengertian “perdamaian”. Akan tetapi karena adanya
perubahan fenom N hilang dan menjadi Dani saja. Sebagian besar masyarakat lebih
senang disebut dengan Suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya
dan mereka biasanya melakukan upacara pesta babi sebagai penghormatan.
Suku Dani Ditemukan
Peradaban manusia papua, khususnya
Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem merupakan peradaban suku yang bisa
dikatakan masih sangat baru. Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem
merupakan salah satu suku terbesar yang mendiami wilayah pegunungan tengah di
Papua. Selain Suku Dani, wilayah pegunungan tengah di Papua didiami pula oleh
suku lain seperti Suku Ekari, Moni, Damal, Amugme dan beberapa sub suku
lainnya. Suku Dani yang mendiami wilayah Lembah Baliem dan sekitarnya
diperkirakan merupakan suku yang berasal dari wilayah Timur Lembah Baliem atau
dikenal dengan nama daerah yali (pada
saat ini masuk dalam Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Yahokimo). Sehingga
berdasarkan cerita rakyat yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua bahwa
nenek moyang Suku Dani berasal dari orang Yali.
Ada beberapa versi mitologi mengenai
asal usul Suku Dani. Mitologi tersebut antara lain:
§ Mitos menceritakan bahwa orang
pertama/manusia pertama Suku Dani bernama
Pumpa (pria) dan Nali-Nali
(wanita) yang masuk ke Lembah Baliem dari arah timur melalui sebuah Goa. Beberapa
sumber mengatakan bahwa Goa pertama tempat keluarnya manusia pertama ini
berasal dari Goa Kali Huam (daerah Siepkosy).
§ Suku Dani berasal dari keturunan
sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maima di
Lembah Baliem Selatan. Mereaka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Keturunan
kedua orang ini membagi mayarakat Suku Dani dalam 2 Moety/paruh masyarakat. Oleh karena itu, orang Suku Dani dilarang
menikah dengan kerabat satu Moety.
§ Nenek moyang orang Dani keluar dari
suatu tempat yaitu mata air Seinma di
sebelah selatan kota Wamena dan sebalah utara Kurima. Mereka keluar pada waktu
itu dalam dua kelompok Moety yaitu Woita
dan Waro.
§ Manusia yang hadir di dunia tinggal di
Goa Huwinmo (Maima) di lembah Pugima,
juga dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Baliem. Ia disebut Nmatugi. Kedatangannya ke Goa Huwinmo disertai oleh beberapa binatang
melata, beberapa jenis unggas, di antaranya ular dan burung. Menurut legenda, pada suatu waktu
terjadilah pertengkaran antara burung dan ular. Mereka sepakat apabila ular
menang maka manusia tidak mati (abadi) dan hanya akan berganti kulit seperti
ular untuk memperpanjang kehidupannya. Sebaliknya jika burung yang menang, maka
manusia tidak abadi. Mereka yakin dan percaya akan kebenaran legenda tersebut,
tetapi mereka pun masih berharap akan mendapatkan kehidupan yang abadi, tanpa
penderitaan, penuh dengan kegembiraan, keadilan dan kemuliaan. Mereka percaya
bahwa sakit dan kematian dapat mereka hindari apabila terjalin hubungan yang
baik antara manusia dan nenek moyangnya.
Suku Dani pertama kali diketahui di
Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi
di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang
pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka
tidak beroperasi di Lembah Baliem. Kontak awal Suku Dani di Lembah Baliem
terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan ekspedisi ilmiah Stiirling. Proses
modernisasi pada masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem seperti yang dicatat
dalam buku “Kebudayaan Jayawijaya “ yang disunting oleh Astrid Susanto (1994)
terjadi menurut tahapan kurun waktu sebagai berikut:
1.
Masa
kontak ekspedisi Stiirling tahun 1926;
2.
Masa
kontak budaya pada tahun 1954-1962. Modernisasi disini pada budaya material
(kapak, pembukaan pos-pos pmerintah/missi serta pembukaan jalan-jalan raya pada
masa pemerintahan kolonial Belanda);
3.
Masa
integrasi pada tahun 1963-1969. Pada masa ini Suku Dani terintegrasi kedalam
Negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963 dan pada tanggal 16 September 1969
dengan peristiwa Pepera;
4.
Masa
awal pembangunan pada tahun 1970-1974. Pada masa ini pembangunan belum banyak
tampak, banyak sekolah yang mulai dibuka, komunikasi cukup lancar, perumahan di
kota Wamena semakin bertambah, pos-pos di kabupaten dan jalan-jalan raya
dibangun, dan lain sebagainya.
5.
Masa
adaptasi pada tahun 1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan yang
dilakukan sebagai adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU
Mendagri No. 5 tahun 1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD)
sebagai tempat pengkaderan dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses
pembangunan diterima baik dalam berbahasa Indonesia yang baik dan banyak hal
telah mengalami penyesuaian serta perubahan; dan
6.
Masa
transisi pada tahun 1982-sekarang. Sebagaimana pada umumnya daerah pegunungan
tengah Papua dalam tahun 1980-1990 awal, Suku Dani, banyak dijumpai kaum
prianya mengenakan koteka danrumbai bagi wanitanya. Dikota kini tidak banyak
dijumpai, namun daerah-daerah yang masih terisolasi dan jauh dari pusat
pemerintahan masih banyak terdapat penduduk yang menggunakan koteka.
B. Lokasi
Letak Geografis
Suku
Dani menyebar di tengah dataran tingi jantung pulau Cendrawasih–Papua Barat
pada ketinggian sekitar 1600 m diatas permukaan laut. Di tengah-tengah
pegunungan Jayawijaya terbentang luas Lembah Baliem yang sering dijuluki
sebagai lembah agung (Grand Valley), sepanjang
±15 km, dan bagian yang terlebar berjarak ±10 km. lembah Baliem ini dialiri
oleh sungai Baliem yang bersumber di lereng pegunungan Jayawijaya dan mengalir
ke arah timur. Pada 139º Bujur Timur sungai ini membelok dan terjun bergabung
dengan sungai Mamberamo. Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara
30.20º sampai 50.20º Lintang Selatan serta 1370.19º sampai 141º Bujur Timur.
Batas-batas daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut: sebelah utara
dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan Kabupaten
Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan timur dengan perbatasan negara
Papua Nugini.
Kondisi
topografi tempat tinggal Suku Dani ini terdiri dari gunung-gunung yang tinggi
dan lembah-lembah yang luas. Di antara pucak-puncak gunung yang ada beberapa
selalu tertutup salju misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin (4595 m)
dan Puncak Mandala (4760 m). Kontur tanahnya terdiri dari batu kapur atau
gamping dan granit yang terdapat di daerah pegunungan, sedangkan di sekeliling
lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung.
Demografis
Jumlah
penduduk Suku Dani di Lembah Baliem ±60.000 jiwa. Sebagian besar orang Suku
Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata
1,60 m. tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1,70 m. Selain itu ada juga
yang tingginya 1,53 m. namun ada juga orang Suku Dani yang berambut ombak dan
berkulit terang, seperti sebagian orang yang ada di wilayah Kurulu.
Klimatologis
Suku
Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak
ketinggian dari permukaan laut, temperatur udaranya bervariasi antara 80-200ºC,
suhu rata-rata 17,50ºC dengan hari hujan 152,42 hari per tahun, tingkat
kelembaban diatas 80%, dan kecepatan angin berhembus sepanjang tahun dengan
rata-rata tertinggi 14 knot dan yang teredah 2,5 knot.
Flora dan Fauna
Selain mempunyai kekayaan mineral,
Papua juga memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam. Daerah ini
Pegunungan Tengah Papua ini terdapat banyak margasatwa yang hidup di
tengah-tengah pepohonan tropis yang luas dan beraneka ragam. Hutan-hutan tropis
memberi kesempatan bagi tumbuh-tumbuhan dan hutan-hutan cemara, semak rodhedendronds dan spesies tanaman pakis
dari anggrek yang mengagumkan. Dekat dengan daerah bersalju di puncak-puncak
gunung terdapat lumut dan tanaman tundra. Hutan-hutan juga memiliki aneka ragam
jenis kayu yang sangat penting bagi perdagangan
seperti intisia, pometis, callophylyum,
drokontomiko, pterokorpus dan jajaran pohon berlumut yang jika
dieksploitasi dan diproses dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi jika
diperdagangkan. Terdapat pula flora khas Papua Barat yaitu buah Merah yang
disebut kuansu oleh masyarakat Papua. Hutan-hutan dan padang rumput Jayawijaya
merupakan habitat kanguru, kus-kus, kasuari dan banyak spesies dari burung
endemik seperti cendrawasih, mambruk, nuri, bermacam-macam insect dan kupu-kupu
yang beraneka ragam warna dan corak.
C.
Bahasa
Bahasa
adalah salah satu sarana komunikasi yang paling vital. Dimanapun manusia berada
pasti menggunakan bahasa. Bahasa membantu setiap orang untuk berelasi dengan
orang lain. Apapun bentuknya, bahasa yang dimiliki oleh sekelompok orang tetap
menjadi sarana komunikasi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut. Bahasa
yang digunakan oleh orang-orang dari Suku Moni; mereka menyebutnya Ndani, sedangkan orang gunung
menyebutnya Hubula/lembah yang
termasuk dalam rumpun bahasa non-Austroneisa.
Jika
dilihat dari penuturannya maka bahasa di daerah Jayawijaya dapat digolongkan
menjadi tiga rumpun bahasa yaitu:
§ Rumpun bahasa Ok. Bahasa Ngalum di
oksibil dak Kiwirok sekitarnya dengan kira-kira 10.000 penutur.
§ Rumpun bahasa Mee.
§ Rumpun bahasa Baliem. Rumpun bahasa ini
dapat digolongkan kedalam tiga sub rumpun yaitu: sub rumpun Yali-Nggalik, sub rumpun Baliem Pusat,
dan sub rumpun Wano.
Hanya
ada sedikit perbedaan dalam penuturannya (dialek) yang dibagi atas tiga wilayah
penuturan, yaitu:
§ Lembah Baliem bagian timur (Hetegima/sebelah
timur kabupaten Wamena dan sebagian besar Kabupaten Kurima).
§ Wamena, Pugima, Kurulu, Musatfak dan
sekitarnya (Lembah Baliem bagian tengah).
§ Kimbim dan sekitarnya (Lembah Baliem
bagian barat).
Sementara itu berdasarkan fonemik dari
logat/dialek bahasa Suku Dani yang diteliti oleh H.M. Bromley, dibedakan
menjadi sembilan jenis, yakni:
1.
Logat
Dani induk di daerah-daerah Lembah Baliem Hulu.
2.
Logat
Dani bagian Barat di Lembah Ilaga, Sinak,
Swart dan Hablifuri Hulu.
3.
Logat
Dani Wolo di sekitar sungai Wolo di
lereng gunung Piramid.
4.
Logat
Dani Kimbim di sekitar sungai Kimbim
dan Wosi.
5.
Logat
Dani Ibele sekitar sungai Bele.
6.
Logat
Dani Aikhe sekitar sungai Aikhe.
7.
Logat
Dani daerah Wamena dan sekitar sungai Uwe
hingga kira-kira sungai Mugi.
8.
Logat
Dani Jurang di daerah yang menyempit di lembah sungai Baliem.
9.
Logat
Dani Hablifuri di daerah Hablifuri.
Bahasa
daerah Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem ini menggunakan
bahasa-bahasa yang masuk kedalam bahasa Papua dari filum Trans-New Guinea.
Bahasa daerah yang digunakanpun mempunyai perbedaan dialog dan pengucapan antar
satu wilayah dengan wilayah lainnya walaupun masih berada dalam jangkauan jarak
tempuh yang terbilang masih dekat.
D. Sistem Religi/Kepercayaan
Adat Menghormati Nenek Moyang
Dasar
religi masyarakat Suku Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga
diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Orang Suku Dani
beranggapan bahwa nenek moyangnya berasal dari daerah bumi sebelah timur yang
disebut Libarek. Menurut mitologi
Dani, nenek moyang di Libarek berasal
dari langit. Tetapi karena ada sebagian dari mereka yang sering mencari ubi,
tali langit tersebut diputus dan mereka harus tinggal di bumi, bekerja keras
menanam hipere (sejenis ubi jalar
yang besar), dan beternak babi.
Orang
Suku Dani juga percaya pada roh yaitu roh laki-laki (Suanggi Ayoka) dan roh wanita (Suanggi
Hosile). Roh-roh ini menitis pada tumbuhan, hewan dan benda-benda. Roh
orang mati, setelah meninggalkan tubuhnya tinggal di hutan.
Konsep
kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara
lain:
§ Kekuatan menjaga kebun.
§ Kekuatan menyembuhkan penyakit dan
menolak bala.
§ Kekuatan menyuburkan tanah.
Untuk
menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang
disebut Kaneka. Lambang ini terbuat
dari batu keramat berbentuk lonjong yang diasah hingga mengkilap. Selain itu
juga adanya Kaneka Hagasir yaitu
upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk
mengawali dan mengakhiri perang. Disamping upacara penghormatan terhadap nenek
moyang, Suku Dani juga melaksanakan upacara:
§ Tentang siklus kehidupan yang
menyangkut kelahiran, inisiasi, perkawinan dan kematian.
§ Tentang soal kehidupan menyangkut
penyakit dan peperangan.
Orang-orang
Suku dani juga meyakini bahwa manusia, babi dan pohon kasuari bersaudara. Untuk
setiap bayi yang lahir, ditanam satu pohon kasuari sehingga pada saat
kematiannya ada persediaan kayu bakar yang dapat digunakan untuk mambakar
mayatnya. Pohon kasuari yang termasuk keluarga pinus menurut kosmologi lokal
bersaudara dengan babi sebab bulu-bulu anak babi yang masih kasar dan bercorak
belang-belang menyerupai daun pohon kauari. Pandangan inilah yang membuat
wanita-wanita di Lembah Baliem sangat akrab dengan babi.
Meskipun Suku Dani tinggal di
hutan-hutan dengan iklim tropis yang sangat kaya akan flora dan fauna, mereka
masih melakukan serangkaian upacara adat, salah satunya adalah rekwasi. Rekwasi adalah sebuah upacara adat yang dilakukan untuk menghormati
para leluhur. Pada rekwasi, biasanya para prajurit akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang,
bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga dan bunga-bungaan di bagian
tubuh mereka. Tangan mereka akan menenteng senjata-senjata tradisional khas
Suku Dani seperti tombak, kapak, parang dan busur beserta anak panahnya.
Sebagian
besar masyarakat Suku Dani juga menganut agama Kristen atas pengaruh Eropa yang
dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi Protestan di Hetegima
sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka
agama Katholik mulai berdatangan.
Tradisi Potong Jari
Suku Dani melambangkan kesedihan lantaran
kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal dengan tidak hanya menangis, tetapi juga memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau
kerabat dekat yang meninggal dunia seperi suami, istri, ayah, ibu, anak dan
adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka percaya bahwa memotong jari adalah simbol dari
rasa sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya.
Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang
kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang
berduka.
Pemotongan jari
ini pada umumnya dilakukan oleh kaum Ibu Suku Dani, namun ada juga pemotongan
jari yang dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak laki-laki. Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan
sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun
keluarga, walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya
menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan tetapi jika
dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan
kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling
bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi
dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja bisa mengakibatkan tidak
maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang,
maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Tradisi potong jari juga dilakukan
dengan alasan “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar
hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku,
satu leluhur, satu bahsa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan
sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam
dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika
luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah
masyarakat pegunungan tengah Papua memotong jari saat ada keluarga yang
meninggal.
Tradisi potong jari di Papua sendiri
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan menggunakan benda tajam seperti
pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas
jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seuatas tali sehingga aliran darahnya
terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian dilakukan pemotongan jari. Selain
tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara
berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan
oleh anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti
bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal
dari tanah kembali ke tanah. Beberapa sumber ada yang mengatakan bahwa tradisi
potong jari saat ini mulai banyak ditinggalkan. Jarang orang melakukannya
belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah
pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemui banyak sisa lelaki dan
wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.
E. Sistem Pernikahan
Pernikahan orang Dani bersifat
poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu-satuan tempat
tinggal yang disebut silimo. Sebuah
desa Dani yang terdiri dari 3 & ndash; 4 silimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi,
Suku Dani berasal dari keturunan suami istri yang menghuni suatu danau
disekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai dua anak
yang bernama Woita dan Waro. Orang Suku Dani dilarang menikah
dengan kerabat Suku Moety sehingga
perkawinannya berprinsip eksogami Moety
(perkawinan Moety/dengan orang diluar
Moety).
F. Pandangan terhadap Alam Semesta dan
Sesama
Orang
Suku Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup. Seluruh
alam semesta khususnya matahari diibaratkan sebagai seorang ibu. Pada waktu
panen pertama sebuah kebun baru, mereka menyisihkan beberapa ubi yang besar
untuk matahari. Di perkampungan Watlangka, terdapat batu-batu matahari, konon
dikatakan bahwa batu tersebut berasal dari matahari. Secara berkala mereka
mempersembahkan seekor anak babi untuk matahari. Mereka yakin bahwa pada malam
hari matahari kembali ke rumahnya di suatu lembah tertentu. Matahari dipandang
sebagai seorang wanita, namun dipandang juga sebagai perlengkapan perang bagi
laki-laki. Dikisahkan bahwa pada mulanya langit dan bumi terletak berdampingan,
namun manusia pertama yaitu Nakmaturi yang serakah menciptakan guntur dan
memisahkan langit dan bumi. Meski demikian, matahari masih tetap bersama
manusia. Semuanya menikmati perdamaian. Tetapi suatu waktu manusia mulai saling
berkelahi. Matahari pun menarik diri, pergi ke langit dan tidak menghiraukan
manusia lagi. Dia hanya memandang manusia dari atas sana.
Menurut
orang Suku Dani, tanah adalah milik bersama secara adat, walaupun dalam sistem
kepemilikan bersama itu masih ada tuan-tuan tanah yang mempunyai wewenang
khusus. Di dalam perang suku, tanah harus dipertahankan mati-matian dan tidak
jarang terjadi bahwa tanah harus ditebus dengan darah. Jual beli tanah tidak
dikenal Suku Dani. Mereka menggunakan tanah secara bersama-sama.
Manusia
pada mulanya juga hidup bersama dengan hewan. Namun, ketika manusia mebgai-bagi
hewan menurut jenisnya, marahlah hewan-hewan itu dan tidak mau hidup dengan
manusia lagi. Hal ini tidak berlaku bagi burung-burung. Manusia tetap hidup
berdampingan dengan mereka sehingga orang-orang Suku Dani pantang memakan
burung-burung tersebut. Bagi orang Dani, babi adalah binatang peliharaan yang
sangat penting. Babi selalu mewarnai pesta-pesta adat, khususnya pada saat
pesta babi (Wam Mawe). Dalam pesta
babi ini, diadakan berbagai acara yang merupakan unsur pokok dari pesta babi
itu sendiri, misalnya perkawinan massal, acara balas budi (bila seseorang
mendapat kebaikan hati dari orang lain, khususnya pada waktu mengalami musibah,
ia dapat membalas kebaikan itu pada saat pesta babi), inisiasi bagi anak-anak
yang mulai menginjak dewasa. Pesta babi haruslah semarak, sehingga jauh sebelum
acara pesta babi, orang tidak diperkenankan membunuh babi, sekalipun ada
kematian. Surga digambarkan oleh Suku Dani sebagai suatu keadaan yang penuh
babi-babi besar dan petatas-petatas yang subur.
Selain
itu, hutan-hutan yang berada di sekitar perkampungan atau di lereng-lereng
bukit tidak boleh ditebang, bahkan kayu yang sudah kering dibiarkan busuk saja.
Menurut mereka di dalam hutan-hutan itu berdiam jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal
atau tempat kediaman nenek moyang mereka. Kayu yang dipergunakan untuk
kebutuhan hidup harus dicari di tempat yang jauh. Hal ini menunjukkan bahwa
orang Suku Dani sangat menghormati jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal.
G. Sistem Pengetahuan dan Pendidikan
Suku Dani merupakan salah satu suku
yang mempunyai peradaban yang sangat tinggi. Hal itu bisa dilihat dari
pengetahuan mereka untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan membantu mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan mereka itu dapat dilihat dari
kenyataan hidup sebagai berikut ini:
§ Pembuatan pakaian tradisional (koteka, sali dan yokal).
Orang
Suku Dani tahu bahwa ada bagian tertentu dari tubuh yang harus ditutup, yakni
bagian kemaluan.
Koteka adalah pakaian untk menutup kemaluan laki-laki.
Sedangkan, yokal untuk perempuan yang
sudah menikah dan Sali untuk gadis. Koteka (holim/horim) terbuat dari kulit labu air. Isi dan biji labu tua
dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Ukurannya biasanya berkaitan dengan aktivitas
pengguna pada saat bekerja atau upacara adat. Koteka yang pendek pada umumnya dipakai pada saat kerja, sedangkan koteka yang panjang digunakan pada saat
upacara adat.
§ Pembuatan silimo (kampung)
Orang-orang
Suku Dani sudah mengetahui bagaimana cara membuat rumah sebagai tempat hunian
yang baik dan aman. Hal ini dapat terlihat dari keahlian membuat silimo. Dengan demikian maka kita dapat
menyimpulkan bahwa Suku Dani tidak mengalami kehidupan nomaden.
§ Pembuatan kebun
Hampir
seluruh lembah dan lereng-lereng gunung digarap secara intensif dan efektif.
Kebun-kebun dikelilingi oleh suatu jaringan drainase. Lereng-lereng gunung pun
digarap dan dilengkapi dengan teras-teras. Tanamannya tumbuh subur dimana-mana.
Hal yang amat mengherankan di lembah besar itu sejak dulu ialah ketelitian
dalam membuat parit-parit dan kampung yang jarang dimiliki oleh orang-orang
dari suku lain.
Orang
Baliem umumnya dan Suku Dani khususnya memiliki pengetahuan akan
keutamaan-keutamaan hidup yang bernilai tinggi. Keutamaan-keutamaan itu ialah:
§ Relasi dengan sesama, dengan leluhur
dan dengan alam sekitarnya. Relasi ini merupakan hal yang amat penting.
§ Membagi dengan orang lain apa yang
dimiliki. Orang Baliem suka memberi rokok, makanan dan sebagainya kepada siapa
saja yang hidup bersama dengan mereka.
§ Kebersamaan. Orang Baliem hidup bersama
dalam kampung, rumah laki-laki (honai)
atau rumah keluarga (ebeai) tsnpa
dinding pemisah dan ruangan pribadi. Mereka tidak memiliki banyak privacy namun sekaligus otonom dan
bebas. Mereka biasa kerja bersama, masak bersama dan makan bersama. Justru di
sinilah letak kekuatan mereka yaitu kebersamaan.
§ Kesuburan manusia, hewan, tanah dan
sebagainya merupakan hal yang amat diharapkan orang Baliem. Mereka akan
berusaha memperoleh kesuburan itu dengan mentaati peraturan hidup yang
diwariskan oleh para leluhur. Lemak babi merupakan lambang kesuburan mereka.
§ Bekerja termasuk nilai yang baik bagi
orang Baliem. Mereka menyadari bahwa segala kebutuhan tersedia didalam tanah.
Mereka harus bekerja keras untuk mengolah tanah itu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa orang Baliem sejati tidak mengemis. Mereka bangga jika bisa
mengurus dirinya sendiri secara mandiri.
Dalam
hal pendidikan, pada mulanya para kepala suku menolak anaknya untuk
disekolahkan. Namun, sejalan dengan waktu dan tuntutan modernisasi, lembaga
pendidikan atau sekolah-sekolah yang dibangun misioanris barat dan pemerintah
Indonesia mulai menarik minat Suku Dani. Secara bertahap ada anak Suku Dani
yang mulai dididik sekaligus dibaptis. Putra Baliem yang telah menjadi sarjana
pioner antara lain adalah David Huby, Simeon Itlay, Benny Hilapok, Agus Alua,
Bartol Paragaye, Bonafasius Huby, Alpius Wetipo, Tobias Itlay, Damianus Wetapo,
Dominicus Lokobal, Benny Huby, Vincent, Jelela Wetipo, Tadius Mulait dan lain-lain.
Deretan intelektual pertama Papua yang merupakan hasil godokan misionaris,
misalnya Benny Giay, Sofyan Nyoman, Agus Alue Alua, David Huby (Bupati
Kabupaten Jayawijaya pada tahun 1996-1999) dan Niko Asso-Lokowal. Sekarang ini
telah banyak orang Suku Dani yang mengecap pendidikan. Kalangan intelektual
Suku Dani pun sudah tak terhitung banyaknya. Namun lebih dari itu, pendidikan
tetaplah merupakan suatu hal yang harus terus dikembangkan dalam masyarakat
Suku Dani.
H.
Sistem Organisasi
Sosial dan Politik
Masyarakat Suku
Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan
masyarakat Suku Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
§
Masyarakat Suku Dani memiliki kerja sama yang bersifat
tetap dan selalu bergotong royong
dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. Misalnya dalam membuka kebun baru.
Laki-laki mengolah tanah hingga siap ditanami dan setelah itu kaum wanita
menamam dan mnyianginya.
§
Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan
musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku. Musyawarah tersebut berlangsung atas
permintaan pemilik bangunan atau rumah yang akan dibangun. Musyawarah biasanya
dilakukan di rumah laki-laki (honai) atau kadang kala di halaman depan rumah
laki-laki dari klan pemilik rumah. Dalam musyawarah itu dibicarakan lokasi atau
tampat mendirikan bangunan, pembagian tugas dan waktu pelaksanaannya.
Organisasi
sosial dan politik pada Suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan
keturunan, serta berdasarkan keturunan teritorial. Unit terkecil dari ikatan
sosial masyarakat Lembah Baliem adalah keluarga luas, yang biasanya terdiri
dari tiga generasi dan bersifat patrilokal. Keluarga luas ini tinggal dalam
satu sili dengan jumlah anggota pada umumnya belasan atau paling banyak sekitar
dua puluhan. Didalamnya biasa tinggal orang tua laki-laki, beberapa anak
perempuan dan laki-laki generasi kedua beserta istri dan anak-anak mereka.
Kepala keluarga luas dipilih melalui musyawarah. Beberapa keluarga luas tergabung
dalam klan kecil. Klan kecil ini bisa diisi oleh beberapa keluarga luas dari
fam yang sama atau dari fam yang berbeda. Indikatornya adalah kepala klan kecil
ini menguasai satu wilayah tanah tertentu dan biasanya tinggal dalam kesatuan
pemukiman seperti kampung, yang dalam bahasa setempat disebut yukmo. Sebuah
klan kecil merupakan kelompok kerja dalam bertani, khususnya pada
pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan gotong royong, seperti membersihkan dan
membuat pagar.
Lebih
tinggi dari itu, ada klan besar yang merupakan gabungan dari klan-klan kecil
dalam aliansi teritorial yang jelas. Fungsi utama dari organisasi sosial ini
adalah sebagai aliansi untuk keperluan perang, kesatuan adat yang besar seperti
pesta babi. Setiap klan besar selalu memiliki honai adat.
Suku Dani dipimpin
oleh seorang kepala suku besar yang disebut Ap
Kain yang memimpin desa adat watlangka. Selain itu ada 3 kepala suku yang
posisinya berada dibawah Ap kain yang
memerankan perannya masing-masing & ndash; sendiri, mereka adalah:
1.
Ap Menteg yaitu kepala suku perang yang memimpin
desa adat Silimo Mebel. Di Silimo inilah disimpan benda-benda
perang dan perdamaian.
2.
Ap Horeg yaitu kepala suku kesuburan yang
meimpin desa adat Silimo Logo. Di silimo inilah disimpan benda-benda
kesuburan.
3.
Ap Ubalik yaitu
kepala suku adat penyembuhan yang memimpin desa adat Silimo Dabi. Di Silimo
inilah disimpan benda-benda adat.
Tugas mereka adalah mengurus
perawatan kebun dan binatang ternak babi. Selain itu juga menjadi penengah
sekaligus hakim ketika terjadi perselisihan antar Suku Dani. Silimo biasa yang dihuni oleh masyarakat
biasa, dikepalai oleh Ap Waregma.
Dalam masyarakat Suku Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain
untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.
Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih
mampu mengatur urusan dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan
tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.
Pemimpin federasi berwenang untuk
memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran dipimpin untuk
para win metek. Meskipun dipilih melalui jalur keturunan, ketua suku yang
terpilih harus memenuhi beberapa syarat, syarat menjadi pemimpin masyarakat
Suku Dani antara lain: pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati,
pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi,
dan pandai berperang.
2.9
Sistem Kekerabatan
Mayarakat Suku
Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, dimana bapak, ibi dan anak tinggal
dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang
sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para
penghuninya, dalam masyarakat Suku Dani unit rumah tersebut adalah sili.
Sistem kekerabatan masyarakat Suku
Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok
teritorial.
§
Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat Suku
Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua
keluarga inti bersama-sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar
(lima).
§
Paroh masyarakat yaitu struktur masyarakat Suku Dani yang
merupakan gabungan beberapa ukul
(klan kecil) yang disebut ukul oak
(klan besar).
§
Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil
dalam masyarakat Suku Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal
(diturunkan kepada anak laki-laki).
I.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Teknologi asli masyarakat Suku Dani sangat sederhana.
Alat-alat utama mereka terbuat dari batu yang gosok sampai halus, kayu dan
sejenis bambu yang disebut lokop. Alat-alat
yang terbuat dari batu antara lain kapak, pahat atau kapak tangan. Batu-batu
dihaluskan sehingga berwarna hitam, kemudian dibuat tajam pada satu sisinya.
Mata kapak dari batu dibentuk segitiga dan diasah satu sisinya, kemudian diberi
tangkai kayu. Tangkai dan mata kapak disambung dengan tali rotan yang
dililitkan melintang dan saling tindih mengikat mata kapak pada tangkainya.
Masyarakat
Baliem mengenal bermacam-macam kapak antara lain:
§ Ewe
Yake untuk membelah
kayu.
§ Yake
Keken untuk memotong.
§ Yake
Kewok (bentuknya
seperti cangkul) untuk mengorek tanah.
Untuk
keperluan berkebun selain yake kewok,
mereka juga menggunakan tongkat penggali (digging
stick) untuk membalikkan tanah agar menjadi gembur. Lubang-lubang untuk
memasukkan bibit dibuat dengan menggunakan kayu yang diruncingkan. Tongkat
penggali orang Suku Dani panjangnya 1,5-2 meter dan tajam pada kedua ujungnya.
Tongkat ini digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas berat seperti membalik
tanah. Tongkat untuk perempuan panjangnya 2-3 meter dan digunakan untuk
penyiangan, penanaman dan pemanenan. Ada juga pisau bambu yang terdiri dari
empat bagian bambu muda kira-kira 6-8 inchi panjangnya dan cukup tajam untuk
menyembelih daging, memotong rambut, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga
pisau yang terbuat dari tulang rusuk babi.
Orang
Suku dani memiliki kantong berbentuk seperti jaring yang disebut noken. Noken terbuat dari serat pohon melinjo (ganemo). Perempuan Baliem pada umumnya mengenakan tiga lapis noken yang digantungkan dari dahi ke
punggung. Noken pertama yang paling
bawah berisi hipere, noken kedua berisi anak babi, dan noken yang ketiga berisi bayi sang ibu.
Dalam
masyarakat Suku Dani juga ditemukan semacam dayung yang tampaknya digunakan
sebagai sekop sederhana. Di Suku Dani bagian barat digunakan semacam dayung (eleebe) untuk menggali dan mengeluarkan hipere/hom yang ditimbun dalam abu
panas. Selainitu, orang Suku Dani juga menggunakan kayu yang dibelah bagian
ujungnya dan berfungsi untuk memindahkan batu panas kedalam lubang untuk
memasak daging. Variasi yang kecil dari kayu penjepit ini digunakan di rumah
untuk mengambil ubi panas dari abu.
Orang
Suku Dani juga memiliki berbagai peralatan lain, yakni:
§ Molige
yaitu sejenis kapak batu yang ujungnya
diberi besi, digunakan untuk menebang pohon;
§ Sege
yaitu sejenis tugal, untuk melubangi
tanah;
§ Korok
yaitu parang yang digunakan untuk
membersihkan ilalang;
§ Valuk yaitu sejenis sekop untuk mencangkul
tanah;
§ Wim
yaitu sebutan untuk busur; dan
§ Panah
sege yaitu sebutan
untuk berbagai benda yang ujungnya runcing.
Alat
lain yang biasa dibawa oleh para lelaki Suku Dani didalam noken adlah kotak peralatan untuk membuat api yang terdiri dari
kayu kecil yang terbelah dibagian tengahnya, batu dan gulungan tumbuhan
merambat kering untuk menyulut api.
J. Sistem
Perekonomian
Sistem Ekonomi
Sistem
ekonomi nenek moyang orang Suku Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses
perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke Kepulauan Pasifik
Barat Irian Jaya.
Kemungkinan
pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat pra agraris yaitu baru mulai
menanam tanaman daam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang berkesinambungan
dan kotak budaya menyebabkan pola penanaman yang snagat sederhana tadi
berkembang menjadi suatu sistem perkebunan ubi jalar seperti sekarang ini.
Sistem Mata Pencaharian
Mata
pencaharian pokok Suku Dani adalah:
1)
Bercocok
tanam ubi kayu dan ubi jalar yang disebut hipere.
Ubi jalar (hipere) adalah tanaman terpenting dan utama. Mereka juga menanam
keladi (hom), tebu (el), pisang (haki) dan berbagai jenis sayur mayur secara tumpang sari, misalnya
jagung, kedelai, buncis, kol dan bayam, sebagai tanaman yang baru diperkenalkan
dari luar daerah. Kebun-kebun milik Suku Dani dibagi atas 3 jenis yaitu:
a.
Kebun-kebun
di daerah rendah. Dan datar yang diusahakan secara menatap.
b.
Kebun-kebun
di lereng gunung
c.
Kebun-kebun
yang berada di antara silimo.
Kebun-kebun
tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kerabat. Batas-batas
hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sunagi, gunung atau jurang.
2)
Beternak
babi
Babi dipelihara dalam kandang yang
bernama wamai (wam artinya babi; ai
artinya rumah). Kandang babi ini berupa bangunan berbentuk empat persegi
panjang. Bagian dalam kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki
ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi dengan bilah-bilah papan. Bagian atas
kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat kebun.
Bagi Suku Dani babi berguna untuk dimakan dagingnya, darahnya dipakai dalam
upacara magis, tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan, tulang rusuknya untuk
pisau pengupas ubi, alat tukar, dan sarana menciptakan perdamaian bila ada
perselisihan.
3)
Berdagang
Suku
Dani juga melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di
sekitarnya. Sistem perdagangan mereka adalah sistem barter sedangkan
barang-barang yang dipertukarkan adalah kulit siput, noken, kapak batu, pita-pita yang dihiasi dengan siput kauri, batu
untuk membuat kapak dan hasil hutan seperti kayu, serat dan bulu burung.
Perdagangan ini terbatas antar klan dan dapat erkembang keluar apabila mereka
mau menukarkan benda-benda mereka dengan sejenis kayu untuk dipakai untuk
membuat busur dan anak panah. Perdagangan ini juga hanya terbatas pada
kebutuhan mereka sehari-hari.
K. Kesenian
Kesenian
masyarakat Suku Dani dapat dilihat dari:
a.
Cara
membangun tempat kediaman mereka yaitu silimo
yang terdiri dari beberapa bangunan:
§ Honai, merupakan sebutan untuk rumah pada
umumnya. Honai berasal dari kata hun yang berarti pria dewasa dan ai yang berarti rumah. Jadi secara
harafiah, honai berarti rumah untuk
pria dewasa. Honai berbentuk bulat,
atapnya seperti kubah dari daun ilalang. Garis tengahnya bisa mencapai 5-7
meter.
§ Ebeai yaitu rumah wanita. Ebe artinya tubuh atau pusat dan ai artinya rumah. Jadi ebeai artinya rumah tubuh atau rumah
induk. Ebeai sama persis dengan honai, hanya garis tengahnya lebih
pendek.
§ Wamai artinya kandang babi. Wam artinya babi dan ai artinya rumah. Jadi wamai artinya rumah babi atau kandang
babi. Wamai berbentuk persegi panjang
dan disekat sebanyak jumlah ebeai. Wamai juga terletak dalam lingkungan silimo. Silimo sendiri berbentuk oval dan dipagari oleh pagar kayu.
b.
Kerajinan
tangan berupa anyaman kantong jaring penutup kepala, pengikat kepala dan
pengikat kapak.
c.
Seni
tari Baliem, terdiri dari:
§ Hunike, salah satu tarian yang dimainkan oleh
satu orang secara bersama, berjejer dan terpisah dari kelompok pengiring lagu. Tarian
ini paling sering dilakukan saat upacara perayaan kemenangan perang.
§ Hologotiik, salah satu gerak tari yang diperankan
dalam posisi berdiri atau melompat di tempat.
§ Dipik/walin, merupakan tarian rakyat yang
dimainkan dengan cara membuat lingkaran dengan sebuah regu atau kelompok
penyanyi berada di tengah. Tarian ini dilakukan pada saat pesta pernikahan,
inisiasi dan upacara lain yang dilaksanakan bersamaan dengan pembunuhan babi.
§ Hulung, adalah tarian rakyat yang dimainkan
secara beramai-ramai ke sana ke mari dalam jarak yang dekat sambil bernyanyi
bersama. Tarian ini dilaksanakan pada saat upacara inisiasi bagi anak
laki-laki, upacara pernikahan dan upacara mawe
(pesta babi).
§ Tem/sekan, merupakan tarian pergaulan yang
dilaksanakan oleh muda mudi di dalam honai
atau dapur. Tari ini dimainkan dengan cara duduk berjejer saling berhadapan
muka antara putera dan puteri sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat.
§ Hisilum,
merupakan tarian pergaulan muda mudi
untuk mendapatkan jodoh. Gerakan tari ini menggunakan bahasa isyarat sambil
menyanyi di tiap kelompok, baik kelompok pria maupun wanita dengan
melambai-lambaikan tangan.
d.
Masyarakat
Suku Dani memiliki tiga macam lagu tradisional (etai), yaitu:
§ Etai
ewa etai, merupakan jenis
lagu-lagu utama yang dinyanyikan baik pada acara-acara resmi maupun pada
acara-acara tidak resmi. Lagu yang dinyanyikan dalam acara-acara resmi,
misalnya: lagu kemenangan dalam perang (ap
wataresik), lagu pada saat inisiasi (ap
wayama), lagu saat pesta perkawinan (heugumo/heyokalma),
lagu pada saat mawe (wam eweakowa), dan lagu pada saat haid
pertama bagi anak gadis Baliem (he
hotarlimo). Lagu yang tidak resmi biasanya dinyanyikan secara spontan pada
saat membuat honai dan membuka kebun
baru.
§ Etai
wene pugut, merupakan salah
satu bentuk lagu tradisional Baliem yang dinyanyikan dengan berbalasan
pantun/syair. Isinya adalah ungkapan emosional, kritikan-kritikan dalam
kehidupan sehari-hari, pesan-pesan tertentu dan sebagainya. Etai wene pugut dinyanyikan pada saat
pesta pernikahan (he yokal), pada saat
pengusiran roh orang mati dari tubuh seseorang (hat waganegma), saat atraksi tukar gelang (sekan/tem kotilogolik) dan saat bersantai (haselum hagatilogolik).
§ Etai
lee wuni atau dee wuni. Lee berarti ratapan atau tangisan dan wuni beratti lagu. Jadi lee
wuni adalah lagu ratapan yang isinya mengandung syair-syair tentang
peristiwa-peristiwa tertentu.
§ Wesa
etai, yakni lagu yang berisikan doa-doa
baik kepada leluhur maupun Tuhan.
e.
Jenis
musik tradisional Jayawijaya dapat dibedakan atas beberapa jenis musik yaitu:
§ Musik pikon, yaitu sejenis musik yang dihasilkan oleh alat musik tiup
sekaligus bertali yang kalau ditiup sambil menarik tali tersebut akan
menghasilkan tiga nada dasar yaitu do, mi
dan sol.
§ Musik witawo, yaitu sejenis musik yang dihasilkan dari lokop (sejenis bambu muda yang
beruas-ruas), dimainkan dengan cara ditiup. Tinggi rendahnya bunyi sangat
ditentukan oleh ukuran dari lokop;
yang panjang menghasilkan bunyi rendah sedangkan yang pendek menghasilkan bunyi
yang tinggi.
§ Musik aneletang, yaitu musik yang dihasilkan dengan cara dipukul untuk
menarik perhatian orang dalam tarian. Jenis musik ini dapat dihasilkan dari
sejumlah anak panah yang disatukan lalu dipukul (sike tok), sejumlah pion yang dipotong-potong dan diikat lalu
dipukul (pion tok) dan batu-batu yang
dipukul (helekit).
§ Musik ane tutum, yaitu jenis musik yang dihasilkan dari kulit yang
ditabuh seperti gendang, yakni tifa. Tifa
terbuat dari pohon weki dan kepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas Kunjunganmu