Iklan

Minggu, 04 September 2022

ADAT DAN BUDAYA SUKU DANI DI TANAH PAPUA

A. Sejarah

Selayang Pandang Suku Dani

            Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem, suku ini telah dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan mampu menggunakan alat atau perkakas pertanian. Selain itu masyarakat Suku Dani telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Mereka hidup diantara belukar, masih memelihara serta mengangkat babi sebagai hewan peliharaannya atau bisa dikatan hewan buruannya. Masyarakat  Suku Dani masih menggunakan teknologi Neolitik dari dunia masa lalu. Saat ini, masyarakat Suku Dani masih banyak yang menggunakan koteka yang terbuat dari kunden atau labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah yang berasal dari rumput atau serat dan tinggal di “honai-honai”. Upacara-upacara besar dan keagamaan serta perang suku masih dilaksanakan meskipun tidak sebesar dahulu.

            Salah satu kebiasaan unik lainnya dari Suku Dani yaitu kebiasaan mendendangkan nyanyian-nyanyian heroisme dan atau kisah-kisah sedih untuk menyemangati dan juga perintang waktu ketika mereka bekerja. Alat musik yang mengiringi senandung atau dendang ini biasanya berupa alat musik pikon, yakni satu alat yang diselipkan diantara lubang hidung dan telinga mereka. Disamping sebagai pengiring, alat musik ini juga berfungsi sebagai isyarat kepada teman atau lawan ketika sedang berburu di hutan.

            Nama Dani sebagai nama suku diberikan oleh orang luar pada tahap-tahap awal suatu ekspedisi gabungan antara Amerika dengan Belanda pada tahun 1926 oleh pimpinan bernama M.W. Striiling. Arti nama itu dan asal-usul kata tersebut tidak memiliki kejelasan, namun menurut Le Roux nama Dani berasal dari bahasa Moni yakni Ndani yang berarti “sebalah timur arah matahari terbit”. Para penduduk asli sendiri tidak tahu siapa yang memberikan nama suku mereka. Masyarakat di sebelah lembah besar mengenali Ndani dalam pengertian “perdamaian”. Akan tetapi karena adanya perubahan fenom N hilang dan menjadi Dani saja. Sebagian besar masyarakat lebih senang disebut dengan Suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya dan mereka biasanya melakukan upacara pesta babi sebagai penghormatan.

Suku Dani Ditemukan

            Peradaban manusia papua, khususnya Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem merupakan peradaban suku yang bisa dikatakan masih sangat baru. Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem merupakan salah satu suku terbesar yang mendiami wilayah pegunungan tengah di Papua. Selain Suku Dani, wilayah pegunungan tengah di Papua didiami pula oleh suku lain seperti Suku Ekari, Moni, Damal, Amugme dan beberapa sub suku lainnya. Suku Dani yang mendiami wilayah Lembah Baliem dan sekitarnya diperkirakan merupakan suku yang berasal dari wilayah Timur Lembah Baliem atau dikenal dengan nama daerah yali (pada saat ini masuk dalam Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Yahokimo). Sehingga berdasarkan cerita rakyat yang sering dibicarakan oleh orang-orang tua bahwa nenek moyang Suku Dani berasal dari orang Yali.

            Ada beberapa versi mitologi mengenai asal usul Suku Dani. Mitologi tersebut antara lain:

§   Mitos menceritakan bahwa orang pertama/manusia pertama Suku Dani bernama Pumpa (pria) dan Nali-Nali (wanita) yang masuk ke Lembah Baliem dari arah timur melalui sebuah Goa. Beberapa sumber mengatakan bahwa Goa pertama tempat keluarnya manusia pertama ini berasal dari Goa Kali Huam (daerah Siepkosy).

§   Suku Dani berasal dari keturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maima di Lembah Baliem Selatan. Mereaka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Keturunan kedua orang ini membagi mayarakat Suku Dani dalam 2 Moety/paruh masyarakat. Oleh karena itu, orang Suku Dani dilarang menikah dengan kerabat satu Moety.

§   Nenek moyang orang Dani keluar dari suatu tempat yaitu mata air Seinma di sebelah selatan kota Wamena dan sebalah utara Kurima. Mereka keluar pada waktu itu dalam dua kelompok Moety yaitu Woita dan Waro.

§   Manusia yang hadir di dunia tinggal di Goa Huwinmo (Maima) di lembah Pugima, juga dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Baliem. Ia disebut Nmatugi. Kedatangannya ke Goa Huwinmo disertai oleh beberapa binatang melata, beberapa jenis unggas, di antaranya ular dan  burung. Menurut legenda, pada suatu waktu terjadilah pertengkaran antara burung dan ular. Mereka sepakat apabila ular menang maka manusia tidak mati (abadi) dan hanya akan berganti kulit seperti ular untuk memperpanjang kehidupannya. Sebaliknya jika burung yang menang, maka manusia tidak abadi. Mereka yakin dan percaya akan kebenaran legenda tersebut, tetapi mereka pun masih berharap akan mendapatkan kehidupan yang abadi, tanpa penderitaan, penuh dengan kegembiraan, keadilan dan kemuliaan. Mereka percaya bahwa sakit dan kematian dapat mereka hindari apabila terjalin hubungan yang baik antara manusia dan nenek moyangnya.

            Suku Dani pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem. Kontak awal Suku Dani di Lembah Baliem terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan ekspedisi ilmiah Stiirling. Proses modernisasi pada masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem seperti yang dicatat dalam buku “Kebudayaan Jayawijaya “ yang disunting oleh Astrid Susanto (1994) terjadi menurut tahapan kurun waktu sebagai berikut:

1.      Masa kontak ekspedisi Stiirling tahun 1926;

2.      Masa kontak budaya pada tahun 1954-1962. Modernisasi disini pada budaya material (kapak, pembukaan pos-pos pmerintah/missi serta pembukaan jalan-jalan raya pada masa pemerintahan kolonial Belanda);

3.      Masa integrasi pada tahun 1963-1969. Pada masa ini Suku Dani terintegrasi kedalam Negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963 dan pada tanggal 16 September 1969 dengan peristiwa Pepera;

4.      Masa awal pembangunan pada tahun 1970-1974. Pada masa ini pembangunan belum banyak tampak, banyak sekolah yang mulai dibuka, komunikasi cukup lancar, perumahan di kota Wamena semakin bertambah, pos-pos di kabupaten dan jalan-jalan raya dibangun, dan lain sebagainya.

5.      Masa adaptasi pada tahun 1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan yang dilakukan sebagai adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU Mendagri No. 5 tahun 1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD) sebagai tempat pengkaderan dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses pembangunan diterima baik dalam berbahasa Indonesia yang baik dan banyak hal telah mengalami penyesuaian serta perubahan; dan

6.      Masa transisi pada tahun 1982-sekarang. Sebagaimana pada umumnya daerah pegunungan tengah Papua dalam tahun 1980-1990 awal, Suku Dani, banyak dijumpai kaum prianya mengenakan koteka danrumbai bagi wanitanya. Dikota kini tidak banyak dijumpai, namun daerah-daerah yang masih terisolasi dan jauh dari pusat pemerintahan masih banyak terdapat penduduk yang menggunakan koteka.

B.      Lokasi

Letak Geografis

            Suku Dani menyebar di tengah dataran tingi jantung pulau Cendrawasih–Papua Barat pada ketinggian sekitar 1600 m diatas permukaan laut. Di tengah-tengah pegunungan Jayawijaya terbentang luas Lembah Baliem yang sering dijuluki sebagai lembah agung (Grand Valley), sepanjang ±15 km, dan bagian yang terlebar berjarak ±10 km. lembah Baliem ini dialiri oleh sungai Baliem yang bersumber di lereng pegunungan Jayawijaya dan mengalir ke arah timur. Pada 139º Bujur Timur sungai ini membelok dan terjun bergabung dengan sungai Mamberamo. Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20º sampai 50.20º Lintang Selatan serta 1370.19º sampai 141º Bujur Timur. Batas-batas daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut: sebelah utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan Kabupaten Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan timur dengan perbatasan negara Papua Nugini.

            Kondisi topografi tempat tinggal Suku Dani ini terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Di antara pucak-puncak gunung yang ada beberapa selalu tertutup salju misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin (4595 m) dan Puncak Mandala (4760 m). Kontur tanahnya terdiri dari batu kapur atau gamping dan granit yang terdapat di daerah pegunungan, sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung.

Demografis

            Jumlah penduduk Suku Dani di Lembah Baliem ±60.000 jiwa. Sebagian besar orang Suku Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata 1,60 m. tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1,70 m. Selain itu ada juga yang tingginya 1,53 m. namun ada juga orang Suku Dani yang berambut ombak dan berkulit terang, seperti sebagian orang yang ada di wilayah Kurulu.

Klimatologis

            Suku Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut, temperatur udaranya bervariasi antara 80-200ºC, suhu rata-rata 17,50ºC dengan hari hujan 152,42 hari per tahun, tingkat kelembaban diatas 80%, dan kecepatan angin berhembus sepanjang tahun dengan rata-rata tertinggi 14 knot dan yang teredah 2,5 knot.

Flora dan Fauna

            Selain mempunyai kekayaan mineral, Papua juga memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam. Daerah ini Pegunungan Tengah Papua ini terdapat banyak margasatwa yang hidup di tengah-tengah pepohonan tropis yang luas dan beraneka ragam. Hutan-hutan tropis memberi kesempatan bagi tumbuh-tumbuhan dan hutan-hutan cemara, semak rodhedendronds dan spesies tanaman pakis dari anggrek yang mengagumkan. Dekat dengan daerah bersalju di puncak-puncak gunung terdapat lumut dan tanaman tundra. Hutan-hutan juga memiliki aneka ragam jenis kayu yang sangat penting bagi perdagangan seperti intisia, pometis, callophylyum, drokontomiko, pterokorpus dan jajaran pohon berlumut yang jika dieksploitasi dan diproses dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi jika diperdagangkan. Terdapat pula flora khas Papua Barat yaitu buah Merah yang disebut kuansu oleh masyarakat Papua. Hutan-hutan dan padang rumput Jayawijaya merupakan habitat kanguru, kus-kus, kasuari dan banyak spesies dari burung endemik seperti cendrawasih, mambruk, nuri, bermacam-macam insect dan kupu-kupu yang beraneka ragam warna dan corak.

C.         Bahasa

            Bahasa adalah salah satu sarana komunikasi yang paling vital. Dimanapun manusia berada pasti menggunakan bahasa. Bahasa membantu setiap orang untuk berelasi dengan orang lain. Apapun bentuknya, bahasa yang dimiliki oleh sekelompok orang tetap menjadi sarana komunikasi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut. Bahasa yang digunakan oleh orang-orang dari Suku Moni; mereka menyebutnya Ndani, sedangkan orang gunung menyebutnya Hubula/lembah yang termasuk dalam rumpun bahasa non-Austroneisa.

            Jika dilihat dari penuturannya maka bahasa di daerah Jayawijaya dapat digolongkan menjadi tiga rumpun bahasa yaitu:

§   Rumpun bahasa Ok. Bahasa Ngalum di oksibil dak Kiwirok sekitarnya dengan kira-kira 10.000 penutur.

§   Rumpun bahasa Mee.

§   Rumpun bahasa Baliem. Rumpun bahasa ini dapat digolongkan kedalam tiga sub rumpun yaitu: sub rumpun Yali-Nggalik, sub rumpun Baliem Pusat, dan sub rumpun Wano.

            Hanya ada sedikit perbedaan dalam penuturannya (dialek) yang dibagi atas tiga wilayah penuturan, yaitu:

§   Lembah Baliem bagian timur (Hetegima/sebelah timur kabupaten Wamena dan sebagian besar Kabupaten Kurima).

§   Wamena, Pugima, Kurulu, Musatfak dan sekitarnya (Lembah Baliem bagian tengah).

§   Kimbim dan sekitarnya (Lembah Baliem bagian barat).

Sementara itu berdasarkan fonemik dari logat/dialek bahasa Suku Dani yang diteliti oleh H.M. Bromley, dibedakan menjadi sembilan jenis, yakni:

1.         Logat Dani induk di daerah-daerah Lembah Baliem Hulu.

2.         Logat Dani bagian Barat di Lembah Ilaga, Sinak, Swart dan Hablifuri Hulu.

3.         Logat Dani Wolo di sekitar sungai Wolo di lereng gunung Piramid.

4.         Logat Dani Kimbim di sekitar sungai Kimbim dan Wosi.

5.         Logat Dani Ibele sekitar sungai Bele.

6.         Logat Dani Aikhe sekitar sungai Aikhe.

7.         Logat Dani daerah Wamena dan sekitar sungai Uwe hingga kira-kira sungai Mugi.

8.         Logat Dani Jurang di daerah yang menyempit di lembah sungai Baliem.

9.         Logat Dani Hablifuri di daerah Hablifuri.

            Bahasa daerah Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem ini menggunakan bahasa-bahasa yang masuk kedalam bahasa Papua dari filum Trans-New Guinea. Bahasa daerah yang digunakanpun mempunyai perbedaan dialog dan pengucapan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya walaupun masih berada dalam jangkauan jarak tempuh yang terbilang masih dekat.

D.      Sistem Religi/Kepercayaan

Adat Menghormati Nenek Moyang

            Dasar religi masyarakat Suku Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Orang Suku Dani beranggapan bahwa nenek moyangnya berasal dari daerah bumi sebelah timur yang disebut Libarek. Menurut mitologi Dani, nenek moyang di Libarek berasal dari langit. Tetapi karena ada sebagian dari mereka yang sering mencari ubi, tali langit tersebut diputus dan mereka harus tinggal di bumi, bekerja keras menanam hipere (sejenis ubi jalar yang besar), dan beternak babi.

            Orang Suku Dani juga percaya pada roh yaitu roh laki-laki (Suanggi Ayoka) dan roh wanita (Suanggi Hosile). Roh-roh ini menitis pada tumbuhan, hewan dan benda-benda. Roh orang mati, setelah meninggalkan tubuhnya tinggal di hutan. 

            Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain:

§  Kekuatan menjaga kebun.

§  Kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala.

§  Kekuatan menyuburkan tanah.

            Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Lambang ini terbuat dari batu keramat berbentuk lonjong yang diasah hingga mengkilap. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang. Disamping upacara penghormatan terhadap nenek moyang, Suku Dani juga melaksanakan upacara:

§   Tentang siklus kehidupan yang menyangkut kelahiran, inisiasi, perkawinan dan kematian.

§   Tentang soal kehidupan menyangkut penyakit dan peperangan.

            Orang-orang Suku dani juga meyakini bahwa manusia, babi dan pohon kasuari bersaudara. Untuk setiap bayi yang lahir, ditanam satu pohon kasuari sehingga pada saat kematiannya ada persediaan kayu bakar yang dapat digunakan untuk mambakar mayatnya. Pohon kasuari yang termasuk keluarga pinus menurut kosmologi lokal bersaudara dengan babi sebab bulu-bulu anak babi yang masih kasar dan bercorak belang-belang menyerupai daun pohon kauari. Pandangan inilah yang membuat wanita-wanita di Lembah Baliem sangat akrab dengan babi.          

Meskipun Suku Dani tinggal di hutan-hutan dengan iklim tropis yang sangat kaya akan flora dan fauna, mereka masih melakukan serangkaian upacara adat, salah satunya adalah rekwasi. Rekwasi adalah sebuah upacara adat yang dilakukan untuk menghormati para leluhur. Pada rekwasi, biasanya para prajurit akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka. Tangan mereka akan menenteng senjata-senjata tradisional khas Suku Dani seperti tombak, kapak, parang dan busur beserta anak panahnya.

            Sebagian besar masyarakat Suku Dani juga menganut agama Kristen atas pengaruh Eropa yang dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi Protestan di Hetegima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.

Tradisi Potong Jari

            Suku Dani melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal dengan tidak hanya menangis, tetapi juga  memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperi suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka percaya bahwa memotong jari adalah simbol dari rasa sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

            Pemotongan jari ini pada umumnya dilakukan oleh kaum Ibu Suku Dani, namun ada juga pemotongan jari yang dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak laki-laki. Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun keluarga, walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.

            Tradisi potong jari juga dilakukan dengan alasan “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahsa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan tengah Papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal.

            Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seuatas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian dilakukan pemotongan jari. Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah kembali ke tanah. Beberapa sumber ada yang mengatakan bahwa tradisi potong jari saat ini mulai banyak ditinggalkan. Jarang orang melakukannya belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemui banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.

E.     Sistem Pernikahan

            Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu-satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani yang terdiri dari 3 & ndash; 4 silimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi, Suku Dani berasal dari keturunan suami istri yang menghuni suatu danau disekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai dua anak yang bernama Woita dan Waro. Orang Suku Dani dilarang menikah dengan kerabat Suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety/dengan orang diluar Moety).

F.        Pandangan terhadap Alam Semesta dan Sesama

            Orang Suku Dani memandang dunia mereka sebagai suatu alam semesta yang hidup. Seluruh alam semesta khususnya matahari diibaratkan sebagai seorang ibu. Pada waktu panen pertama sebuah kebun baru, mereka menyisihkan beberapa ubi yang besar untuk matahari. Di perkampungan Watlangka, terdapat batu-batu matahari, konon dikatakan bahwa batu tersebut berasal dari matahari. Secara berkala mereka mempersembahkan seekor anak babi untuk matahari. Mereka yakin bahwa pada malam hari matahari kembali ke rumahnya di suatu lembah tertentu. Matahari dipandang sebagai seorang wanita, namun dipandang juga sebagai perlengkapan perang bagi laki-laki. Dikisahkan bahwa pada mulanya langit dan bumi terletak berdampingan, namun manusia pertama yaitu Nakmaturi yang serakah menciptakan guntur dan memisahkan langit dan bumi. Meski demikian, matahari masih tetap bersama manusia. Semuanya menikmati perdamaian. Tetapi suatu waktu manusia mulai saling berkelahi. Matahari pun menarik diri, pergi ke langit dan tidak menghiraukan manusia lagi. Dia hanya memandang manusia dari atas sana.

            Menurut orang Suku Dani, tanah adalah milik bersama secara adat, walaupun dalam sistem kepemilikan bersama itu masih ada tuan-tuan tanah yang mempunyai wewenang khusus. Di dalam perang suku, tanah harus dipertahankan mati-matian dan tidak jarang terjadi bahwa tanah harus ditebus dengan darah. Jual beli tanah tidak dikenal Suku Dani. Mereka menggunakan tanah secara bersama-sama.

            Manusia pada mulanya juga hidup bersama dengan hewan. Namun, ketika manusia mebgai-bagi hewan menurut jenisnya, marahlah hewan-hewan itu dan tidak mau hidup dengan manusia lagi. Hal ini tidak berlaku bagi burung-burung. Manusia tetap hidup berdampingan dengan mereka sehingga orang-orang Suku Dani pantang memakan burung-burung tersebut. Bagi orang Dani, babi adalah binatang peliharaan yang sangat penting. Babi selalu mewarnai pesta-pesta adat, khususnya pada saat pesta babi (Wam Mawe). Dalam pesta babi ini, diadakan berbagai acara yang merupakan unsur pokok dari pesta babi itu sendiri, misalnya perkawinan massal, acara balas budi (bila seseorang mendapat kebaikan hati dari orang lain, khususnya pada waktu mengalami musibah, ia dapat membalas kebaikan itu pada saat pesta babi), inisiasi bagi anak-anak yang mulai menginjak dewasa. Pesta babi haruslah semarak, sehingga jauh sebelum acara pesta babi, orang tidak diperkenankan membunuh babi, sekalipun ada kematian. Surga digambarkan oleh Suku Dani sebagai suatu keadaan yang penuh babi-babi besar dan petatas-petatas yang subur.

            Selain itu, hutan-hutan yang berada di sekitar perkampungan atau di lereng-lereng bukit tidak boleh ditebang, bahkan kayu yang sudah kering dibiarkan busuk saja. Menurut mereka di dalam hutan-hutan itu berdiam jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal atau tempat kediaman nenek moyang mereka. Kayu yang dipergunakan untuk kebutuhan hidup harus dicari di tempat yang jauh. Hal ini menunjukkan bahwa orang Suku Dani sangat menghormati jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal.

G.       Sistem Pengetahuan dan Pendidikan

            Suku Dani merupakan salah satu suku yang mempunyai peradaban yang sangat tinggi. Hal itu bisa dilihat dari pengetahuan mereka untuk menciptakan sesuatu yang berguna dan membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan mereka itu dapat dilihat dari kenyataan hidup sebagai berikut ini:

§   Pembuatan pakaian tradisional (koteka, sali dan yokal).

     Orang Suku Dani tahu bahwa ada bagian tertentu dari tubuh yang harus ditutup, yakni bagian kemaluan.

Koteka adalah pakaian untk menutup kemaluan laki-laki. Sedangkan, yokal untuk perempuan yang sudah menikah dan Sali untuk gadis. Koteka (holim/horim) terbuat dari kulit labu air. Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Ukurannya biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna pada saat bekerja atau upacara adat. Koteka yang pendek pada umumnya dipakai pada saat kerja, sedangkan koteka yang panjang digunakan pada saat upacara adat.

§   Pembuatan silimo (kampung)

     Orang-orang Suku Dani sudah mengetahui bagaimana cara membuat rumah sebagai tempat hunian yang baik dan aman. Hal ini dapat terlihat dari keahlian membuat silimo. Dengan demikian maka kita dapat menyimpulkan bahwa Suku Dani tidak mengalami kehidupan nomaden.

§   Pembuatan kebun

     Hampir seluruh lembah dan lereng-lereng gunung digarap secara intensif dan efektif. Kebun-kebun dikelilingi oleh suatu jaringan drainase. Lereng-lereng gunung pun digarap dan dilengkapi dengan teras-teras. Tanamannya tumbuh subur dimana-mana. Hal yang amat mengherankan di lembah besar itu sejak dulu ialah ketelitian dalam membuat parit-parit dan kampung yang jarang dimiliki oleh orang-orang dari suku lain.

            Orang Baliem umumnya dan Suku Dani khususnya memiliki pengetahuan akan keutamaan-keutamaan hidup yang bernilai tinggi. Keutamaan-keutamaan itu ialah:

§   Relasi dengan sesama, dengan leluhur dan dengan alam sekitarnya. Relasi ini merupakan hal yang amat penting.

§   Membagi dengan orang lain apa yang dimiliki. Orang Baliem suka memberi rokok, makanan dan sebagainya kepada siapa saja yang hidup bersama dengan mereka.

§   Kebersamaan. Orang Baliem hidup bersama dalam kampung, rumah laki-laki (honai) atau rumah keluarga (ebeai) tsnpa dinding pemisah dan ruangan pribadi. Mereka tidak memiliki banyak privacy namun sekaligus otonom dan bebas. Mereka biasa kerja bersama, masak bersama dan makan bersama. Justru di sinilah letak kekuatan mereka yaitu kebersamaan.

§   Kesuburan manusia, hewan, tanah dan sebagainya merupakan hal yang amat diharapkan orang Baliem. Mereka akan berusaha memperoleh kesuburan itu dengan mentaati peraturan hidup yang diwariskan oleh para leluhur. Lemak babi merupakan lambang kesuburan mereka.

§   Bekerja termasuk nilai yang baik bagi orang Baliem. Mereka menyadari bahwa segala kebutuhan tersedia didalam tanah. Mereka harus bekerja keras untuk mengolah tanah itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Baliem sejati tidak mengemis. Mereka bangga jika bisa mengurus dirinya sendiri secara mandiri.

            Dalam hal pendidikan, pada mulanya para kepala suku menolak anaknya untuk disekolahkan. Namun, sejalan dengan waktu dan tuntutan modernisasi, lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang dibangun misioanris barat dan pemerintah Indonesia mulai menarik minat Suku Dani. Secara bertahap ada anak Suku Dani yang mulai dididik sekaligus dibaptis. Putra Baliem yang telah menjadi sarjana pioner antara lain adalah David Huby, Simeon Itlay, Benny Hilapok, Agus Alua, Bartol Paragaye, Bonafasius Huby, Alpius Wetipo, Tobias Itlay, Damianus Wetapo, Dominicus Lokobal, Benny Huby, Vincent, Jelela Wetipo, Tadius Mulait dan lain-lain. Deretan intelektual pertama Papua yang merupakan hasil godokan misionaris, misalnya Benny Giay, Sofyan Nyoman, Agus Alue Alua, David Huby (Bupati Kabupaten Jayawijaya pada tahun 1996-1999) dan Niko Asso-Lokowal. Sekarang ini telah banyak orang Suku Dani yang mengecap pendidikan. Kalangan intelektual Suku Dani pun sudah tak terhitung banyaknya. Namun lebih dari itu, pendidikan tetaplah merupakan suatu hal yang harus terus dikembangkan dalam masyarakat Suku Dani.

H.         Sistem Organisasi Sosial dan Politik

            Masyarakat Suku Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Suku Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

§   Masyarakat Suku Dani memiliki kerja sama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong dalam menyelesaikan setiap pekerjaan. Misalnya dalam membuka kebun baru. Laki-laki mengolah tanah hingga siap ditanami dan setelah itu kaum wanita menamam dan mnyianginya.

§   Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku. Musyawarah tersebut berlangsung atas permintaan pemilik bangunan atau rumah yang akan dibangun. Musyawarah biasanya dilakukan di rumah laki-laki (honai) atau kadang kala di halaman depan rumah laki-laki dari klan pemilik rumah. Dalam musyawarah itu dibicarakan lokasi atau tampat mendirikan bangunan, pembagian tugas dan waktu pelaksanaannya.

            Organisasi sosial dan politik pada Suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan, serta berdasarkan keturunan teritorial. Unit terkecil dari ikatan sosial masyarakat Lembah Baliem adalah keluarga luas, yang biasanya terdiri dari tiga generasi dan bersifat patrilokal. Keluarga luas ini tinggal dalam satu sili dengan jumlah anggota pada umumnya belasan atau paling banyak sekitar dua puluhan. Didalamnya biasa tinggal orang tua laki-laki, beberapa anak perempuan dan laki-laki generasi kedua beserta istri dan anak-anak mereka. Kepala keluarga luas dipilih melalui musyawarah. Beberapa keluarga luas tergabung dalam klan kecil. Klan kecil ini bisa diisi oleh beberapa keluarga luas dari fam yang sama atau dari fam yang berbeda. Indikatornya adalah kepala klan kecil ini menguasai satu wilayah tanah tertentu dan biasanya tinggal dalam kesatuan pemukiman seperti kampung, yang dalam bahasa setempat disebut yukmo. Sebuah klan kecil merupakan kelompok kerja dalam bertani, khususnya pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan gotong royong, seperti membersihkan dan membuat pagar.

            Lebih tinggi dari itu, ada klan besar yang merupakan gabungan dari klan-klan kecil dalam aliansi teritorial yang jelas. Fungsi utama dari organisasi sosial ini adalah sebagai aliansi untuk keperluan perang, kesatuan adat yang besar seperti pesta babi. Setiap klan besar selalu memiliki honai adat.

            Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yang disebut Ap Kain yang memimpin desa adat watlangka. Selain itu ada 3 kepala suku yang posisinya berada dibawah Ap kain yang memerankan perannya masing-masing & ndash; sendiri, mereka adalah:

1.         Ap Menteg yaitu kepala suku perang yang memimpin desa adat Silimo Mebel. Di Silimo inilah disimpan benda-benda perang dan perdamaian.

2.         Ap Horeg yaitu kepala suku kesuburan yang meimpin desa adat Silimo Logo. Di silimo inilah disimpan benda-benda kesuburan.

3.         Ap Ubalik yaitu kepala suku adat penyembuhan yang memimpin desa adat Silimo Dabi. Di Silimo inilah disimpan benda-benda adat.

            Tugas mereka adalah mengurus perawatan kebun dan binatang ternak babi. Selain itu juga menjadi penengah sekaligus hakim ketika terjadi perselisihan antar Suku Dani. Silimo biasa yang dihuni oleh masyarakat biasa, dikepalai oleh Ap Waregma. Dalam masyarakat Suku Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.

            Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur urusan dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.

            Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Meskipun dipilih melalui jalur keturunan, ketua suku yang terpilih harus memenuhi beberapa syarat, syarat menjadi pemimpin masyarakat Suku Dani antara lain: pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.

2.9         Sistem Kekerabatan

            Mayarakat Suku Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, dimana bapak, ibi dan anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Suku Dani unit rumah tersebut adalah sili.

            Sistem kekerabatan masyarakat Suku Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.

§   Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat Suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama-sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).

§   Paroh masyarakat yaitu struktur masyarakat Suku Dani yang merupakan gabungan beberapa ukul (klan kecil) yang disebut ukul oak (klan besar).

§   Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat Suku Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

I.     Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

            Teknologi asli masyarakat Suku Dani sangat sederhana. Alat-alat utama mereka terbuat dari batu yang gosok sampai halus, kayu dan sejenis bambu yang disebut lokop. Alat-alat yang terbuat dari batu antara lain kapak, pahat atau kapak tangan. Batu-batu dihaluskan sehingga berwarna hitam, kemudian dibuat tajam pada satu sisinya. Mata kapak dari batu dibentuk segitiga dan diasah satu sisinya, kemudian diberi tangkai kayu. Tangkai dan mata kapak disambung dengan tali rotan yang dililitkan melintang dan saling tindih mengikat mata kapak pada tangkainya.

            Masyarakat Baliem mengenal bermacam-macam kapak antara lain:

§   Ewe Yake untuk membelah kayu.

§   Yake Keken untuk memotong.

§   Yake Kewok (bentuknya seperti cangkul) untuk mengorek tanah.

            Untuk keperluan berkebun selain yake kewok, mereka juga menggunakan tongkat penggali (digging stick) untuk membalikkan tanah agar menjadi gembur. Lubang-lubang untuk memasukkan bibit dibuat dengan menggunakan kayu yang diruncingkan. Tongkat penggali orang Suku Dani panjangnya 1,5-2 meter dan tajam pada kedua ujungnya. Tongkat ini digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas berat seperti membalik tanah. Tongkat untuk perempuan panjangnya 2-3 meter dan digunakan untuk penyiangan, penanaman dan pemanenan. Ada juga pisau bambu yang terdiri dari empat bagian bambu muda kira-kira 6-8 inchi panjangnya dan cukup tajam untuk menyembelih daging, memotong rambut, dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga pisau yang terbuat dari tulang rusuk babi.

            Orang Suku dani memiliki kantong berbentuk seperti jaring yang disebut noken. Noken terbuat dari serat pohon melinjo (ganemo). Perempuan Baliem pada umumnya mengenakan tiga lapis noken yang digantungkan dari dahi ke punggung. Noken pertama yang paling bawah berisi hipere, noken kedua berisi anak babi, dan noken yang ketiga berisi bayi sang ibu.

            Dalam masyarakat Suku Dani juga ditemukan semacam dayung yang tampaknya digunakan sebagai sekop sederhana. Di Suku Dani bagian barat digunakan semacam dayung (eleebe) untuk menggali dan mengeluarkan hipere/hom yang ditimbun dalam abu panas. Selainitu, orang Suku Dani juga menggunakan kayu yang dibelah bagian ujungnya dan berfungsi untuk memindahkan batu panas kedalam lubang untuk memasak daging. Variasi yang kecil dari kayu penjepit ini digunakan di rumah untuk mengambil ubi panas dari abu.

            Orang Suku Dani juga memiliki berbagai peralatan lain, yakni:

§   Molige yaitu sejenis kapak batu yang ujungnya diberi besi, digunakan untuk menebang pohon;

§   Sege yaitu sejenis tugal, untuk melubangi tanah;

§   Korok yaitu parang yang digunakan untuk membersihkan ilalang;

§   Valuk yaitu sejenis sekop untuk mencangkul tanah;

§   Wim yaitu sebutan untuk busur; dan

§   Panah sege yaitu sebutan untuk berbagai benda yang ujungnya runcing.

            Alat lain yang biasa dibawa oleh para lelaki Suku Dani didalam noken adlah kotak peralatan untuk membuat api yang terdiri dari kayu kecil yang terbelah dibagian tengahnya, batu dan gulungan tumbuhan merambat kering untuk menyulut api.

J.     Sistem Perekonomian

Sistem Ekonomi

            Sistem ekonomi nenek moyang orang Suku Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke Kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.

            Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat pra agraris yaitu baru mulai menanam tanaman daam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang berkesinambungan dan kotak budaya menyebabkan pola penanaman yang snagat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem perkebunan ubi jalar seperti sekarang ini.

Sistem Mata Pencaharian

            Mata pencaharian pokok Suku Dani adalah:

1)        Bercocok tanam ubi kayu dan ubi jalar yang disebut hipere.

Ubi jalar (hipere) adalah tanaman terpenting dan utama. Mereka juga menanam keladi (hom), tebu (el), pisang (haki) dan berbagai jenis sayur mayur secara tumpang sari, misalnya jagung, kedelai, buncis, kol dan bayam, sebagai tanaman yang baru diperkenalkan dari luar daerah. Kebun-kebun milik Suku Dani dibagi atas 3 jenis yaitu:

a.      Kebun-kebun di daerah rendah. Dan datar yang diusahakan secara menatap.

b.      Kebun-kebun di lereng gunung

c.       Kebun-kebun yang berada  di antara silimo.

                          Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sunagi, gunung atau jurang.

2)        Beternak babi

       Babi dipelihara dalam kandang yang bernama wamai (wam artinya babi; ai artinya rumah). Kandang babi ini berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang. Bagian dalam kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi dengan bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat kebun. Bagi Suku Dani babi berguna untuk dimakan dagingnya, darahnya dipakai dalam upacara magis, tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan, tulang rusuknya untuk pisau pengupas ubi, alat tukar, dan sarana menciptakan perdamaian bila ada perselisihan.

3)        Berdagang

       Suku Dani juga melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya. Sistem perdagangan mereka adalah sistem barter sedangkan barang-barang yang dipertukarkan adalah kulit siput, noken, kapak batu, pita-pita yang dihiasi dengan siput kauri, batu untuk membuat kapak dan hasil hutan seperti kayu, serat dan bulu burung. Perdagangan ini terbatas antar klan dan dapat erkembang keluar apabila mereka mau menukarkan benda-benda mereka dengan sejenis kayu untuk dipakai untuk membuat busur dan anak panah. Perdagangan ini juga hanya terbatas pada kebutuhan mereka sehari-hari.

 

K.    Kesenian

            Kesenian masyarakat Suku Dani dapat dilihat dari:

a.         Cara membangun tempat kediaman mereka yaitu silimo yang terdiri dari beberapa bangunan:

§   Honai, merupakan sebutan untuk rumah pada umumnya. Honai berasal dari kata hun yang berarti pria dewasa dan ai yang berarti rumah. Jadi secara harafiah, honai berarti rumah untuk pria dewasa. Honai berbentuk bulat, atapnya seperti kubah dari daun ilalang. Garis tengahnya bisa mencapai 5-7 meter.

§   Ebeai yaitu rumah wanita. Ebe artinya tubuh atau pusat dan ai artinya rumah. Jadi ebeai artinya rumah tubuh atau rumah induk. Ebeai sama persis dengan honai, hanya garis tengahnya lebih pendek.

§   Wamai artinya kandang babi. Wam artinya babi dan ai artinya rumah. Jadi wamai artinya rumah babi atau kandang babi. Wamai berbentuk persegi panjang dan disekat sebanyak jumlah ebeai. Wamai juga terletak dalam lingkungan silimo. Silimo sendiri berbentuk oval dan dipagari oleh pagar kayu.

b.        Kerajinan tangan berupa anyaman kantong jaring penutup kepala, pengikat kepala dan pengikat kapak.

c.         Seni tari Baliem, terdiri dari:

§   Hunike, salah satu tarian yang dimainkan oleh satu orang secara bersama, berjejer dan terpisah dari kelompok pengiring lagu. Tarian ini paling sering dilakukan saat upacara perayaan kemenangan perang.

§   Hologotiik, salah satu gerak tari yang diperankan dalam posisi berdiri atau melompat di tempat.

§   Dipik/walin, merupakan tarian rakyat yang dimainkan dengan cara membuat lingkaran dengan sebuah regu atau kelompok penyanyi berada di tengah. Tarian ini dilakukan pada saat pesta pernikahan, inisiasi dan upacara lain yang dilaksanakan bersamaan dengan pembunuhan babi.

§   Hulung, adalah tarian rakyat yang dimainkan secara beramai-ramai ke sana ke mari dalam jarak yang dekat sambil bernyanyi bersama. Tarian ini dilaksanakan pada saat upacara inisiasi bagi anak laki-laki, upacara pernikahan dan upacara mawe (pesta babi).

§   Tem/sekan, merupakan tarian pergaulan yang dilaksanakan oleh muda mudi di dalam honai atau dapur. Tari ini dimainkan dengan cara duduk berjejer saling berhadapan muka antara putera dan puteri sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat.

§   Hisilum, merupakan tarian pergaulan muda mudi untuk mendapatkan jodoh. Gerakan tari ini menggunakan bahasa isyarat sambil menyanyi di tiap kelompok, baik kelompok pria maupun wanita dengan melambai-lambaikan tangan.

d.        Masyarakat Suku Dani memiliki tiga macam lagu tradisional (etai), yaitu:

§   Etai ewa etai, merupakan jenis lagu-lagu utama yang dinyanyikan baik pada acara-acara resmi maupun pada acara-acara tidak resmi. Lagu yang dinyanyikan dalam acara-acara resmi, misalnya: lagu kemenangan dalam perang (ap wataresik), lagu pada saat inisiasi (ap wayama), lagu saat pesta perkawinan (heugumo/heyokalma), lagu pada saat mawe (wam eweakowa), dan lagu pada saat haid pertama bagi anak gadis Baliem (he hotarlimo). Lagu yang tidak resmi biasanya dinyanyikan secara spontan pada saat membuat honai dan membuka kebun baru.

§   Etai wene pugut, merupakan salah satu bentuk lagu tradisional Baliem yang dinyanyikan dengan berbalasan pantun/syair. Isinya adalah ungkapan emosional, kritikan-kritikan dalam kehidupan sehari-hari, pesan-pesan tertentu dan sebagainya. Etai wene pugut dinyanyikan pada saat pesta pernikahan (he yokal), pada saat pengusiran roh orang mati dari tubuh seseorang (hat waganegma), saat atraksi tukar gelang (sekan/tem kotilogolik) dan saat bersantai (haselum hagatilogolik).

§   Etai lee wuni atau dee wuni. Lee berarti ratapan atau tangisan dan wuni beratti lagu. Jadi lee wuni adalah lagu ratapan yang isinya mengandung syair-syair tentang peristiwa-peristiwa tertentu.

§   Wesa etai, yakni lagu yang berisikan doa-doa baik kepada leluhur maupun Tuhan.

e.         Jenis musik tradisional Jayawijaya dapat dibedakan atas beberapa jenis musik yaitu:

§   Musik pikon, yaitu sejenis musik yang dihasilkan oleh alat musik tiup sekaligus bertali yang kalau ditiup sambil menarik tali tersebut akan menghasilkan tiga nada dasar yaitu do, mi dan sol.

§   Musik witawo, yaitu sejenis musik yang dihasilkan dari lokop (sejenis bambu muda yang beruas-ruas), dimainkan dengan cara ditiup. Tinggi rendahnya bunyi sangat ditentukan oleh ukuran dari lokop; yang panjang menghasilkan bunyi rendah sedangkan yang pendek menghasilkan bunyi yang tinggi.

§   Musik aneletang, yaitu musik yang dihasilkan dengan cara dipukul untuk menarik perhatian orang dalam tarian. Jenis musik ini dapat dihasilkan dari sejumlah anak panah yang disatukan lalu dipukul (sike tok), sejumlah pion yang dipotong-potong dan diikat lalu dipukul (pion tok) dan batu-batu yang dipukul (helekit).

§   Musik ane tutum, yaitu jenis musik yang dihasilkan dari kulit yang ditabuh seperti gendang, yakni tifa. Tifa terbuat dari pohon weki dan kepi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjunganmu