Iklan

Kamis, 03 November 2022

Filep Karma

Filep Karma

Filep Jacob Semuel Karma (14 Agustus 1959  1 November 2022 ), lebih dikenal dengan nama Filep Karma, adalah aktivis kemerdekaan Papua. Pada tanggal 1 Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di JayapuraIndonesia. Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan dihukum penjara selama 15 tahun. Amnesty International dan Human Rights Watch telah melayangkan protes atas penahanannya dan Amnesty International menetapkan Filep Karma sebagai tahanan hati nurani.

Filep Karma
LahirFilep Jacob Semuel Karma
14 Agustus 1959
JayapuraNugini Belanda
Meninggal1 November 2022 (umur 63)
JayapuraPapua
KebangsaanIndonesia
PekerjaanAktivis kemerdekaan
Dikenal atasDitangkap tahun 2004
Orang tuaAndreas Karma (ayah)

Latar belakang

Andreas Karma

Lahir tahun 1959 di Jayapura, Nugini Belanda, Karma dibesarkan di keluarga kelas atas yang aktif di perpolitikan daerah. Ayahnya, Andreas Karma, adalah pegawai negeri sipil didikan Belanda yang lanjut bekerja untuk pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Andreas adalah bupati Jayawijaya dan Serui. Sedangkan Constant Karma, yang merupakan sepupu Filep, menjabat sebagai wakil gubernur Papua.

Filep Karma kecil dipengaruhi oleh serangan dini hari ke rumahnya oleh tentara Indonesia yang merusak perabotan di rumahnya. Ia kemudian mengenyam pendidikan di Solo, Jawa Tengah, sebelum menjadi pegawai negeri sipil seperti ayahnya. Pada tahun 1997, ia berangkat ke Manila untuk kuliah selama satu tahun di Asian Institute of Management. Ia tidak menyelesaikan studinya.

Karma dikaruniai dua anak dari pernikahannya dengan Ratu Karel Lina, keturunan Melayu-Jawa, yang bernama Audryne and Andrefina.

Pengibaran bendera dan penangkapan

Bendera Bintang Kejora yang dipakai oleh pendukung kemerdekaan Papua

Sepulangnya dari Manila, Karma melihat Jawa dibanjiri unjuk rasa melawan Presiden Soeharto. Ia terlibat dalam pergerakan tersebut dan mulai mengangkat isu pemisahan Papua dari Indonesia.

Pada tanggal 2 Juli 1998, ia memimpin upacara pengibaran bendera Papua Barat di Biak. Para aktivisnya terlibat rusuh dengan polisi dan mencederai beberapa polisi. Militer Indonesia menduduki Pulau Biak empat hari kemudian dan menembaki aktivis. Karma menduga lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dan dikuburkan di pulau-pulau terdekat. Jumlah korban tewas tidak diketahui secara pasti. Human Rights Watch memprotes aksi pemerintah Indonesia dan menyebut bahwa beberapa bulan setelah peristiwa ini pemerintah "gagal melaksanakan investigasi serius terhadap insiden ini dan gagal memaksa para pelaku penyiksaan warga di Biak bertanggung jawab". Kedua kaki Karma terluka akibat peluru karet. Ia kemudian ditangkap, diadili, dan dihukum penjara selama 6,5 tahun atas tuduhan pengkhianatan. Hukuman dibatalkan di sidang banding setelah Karma dipenjara selama 10 bulan.

Tanggal 1 Desember 2004, ia berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera kedua yang menandakan ulang tahun kemerdekaan Papua dari Belanda. Pasukan keamanan Indonesia lagi-lagi diduga menembaki kerumunan dan menewaskan para aktivis pro-kemerdekaan. Karma kembali ditangkap atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Kali ini ia ditangkap bersama sesama aktivis Yusak Pakage.

Di sidang pengadilan Karma, hakim mengolok-olok agama Kristen yang dianutnya dan hukumannya ditambah tiga kali lipat. Karma dihukum penjara selama 15 tahun di Penjara Abepura, Jayapura. Pakage dihukum penjara selama 10 tahun dan dibebaskan dini pada tahun 2010. Pasca pengadilan, para pengacara Karma kabarnya mendapati kepala anjing di depan pintu rumah mereka disertai catatan bertuliskan "Bunuh Karma".

Laporan penyiksaan dan perhatian internasional

Pada bulan Agustus 2008, 40 anggota Kongres Amerika Serikat mengirim surat ke Indonesia yang isinya meminta Pakage dan Karma dibebaskan. Tidak lama setelah itu, 100 orang berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Tahun 2009, Asian Human Rights Commission menyatakan bahwa para sipir memukuli Karma karena terlambat kembali dari cuti penjara pada tanggal 1 Februari. Mereka dikabarkan memecahkan kacamatanya dan menyayat salah satu kelopak matanya. Pada tahun 2010, Karma diizinkan menjadi narasumber untuk sebuah stasiun radio setempat dan di sana ia mengaku sering disiksa sipir penjara: "Saya pernah ditonjok, ditendang, ditarik. Namun hal yang lebih menyakitkan adalah penyiksaan mental yang harus kami lalui." Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan kepada BBC News Bahwa "tuduhan penyiksaan tahanan selalu diselidiki dan ditangani sesegera mungkin."

Bulan Mei 2010, otoritas penjara menolak permintaan dokter Karma untuk membawanya ke Jakarta demi mendapatkan perawatan medis yang layak. Amnesty International kembali mengeluarkan peringatan tentang keselamatannya. Pada Desember 2010, Karma ditransfer ke kepolisian Jayapura setelah terjadi kerusuhan di penjara. Human Rights Watch pun kembali meminta Karma dan rekan-rekan politiknya dibebaskan serta memprotes sedikitnya akses ke lembaga bantuan hukum. Karma segera dipindahkan kembali ke Penjara Abepura.

Amnesty International kembali mengeluarkan peringatan atas nama Karma pada April 2012 setelah organisasi ini menduga otoritas penjara menolak menyediakan perawatan medis kepada Karma yang menderita tumor. Ia mendapatkan perawatan pada September 2012.

Kematian

Pada 1 November 2022, Karma ditemukan tewas di Pantai Base G, Jayapura.

Referensi

  1. Karma, F.; Soenmi, L. (2014). Seakan kitorang setengah binatang: rasialisme Indonesia di tanah Papua. Penerbit Deiyai. hlm. 2. ISBN 978-602-17071-4-2. Diakses tanggal 2022-11-01.
  2. "Filep Karma, Jailed for Raising a Flag"Amnesty International. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-29. Diakses tanggal 18 April 2011.
  3. "Prosecuting Political Aspiration"Human Rights Watch. 22 June 2010. Diakses tanggal 18 April 2011.
  4. Michael Holtz (16 November 2011). "Despite political reform, Indonesia abuses persist"  via HighBeam Research (perlu berlangganan) . Associated Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 24 April 2013.
  5. Karma, F.; Soenmi, L. (2014). Seakan kitorang setengah binatang: rasialisme Indonesia di tanah Papua. Penerbit Deiyai. hlm. 47–49. ISBN 978-602-17071-4-2. Diakses tanggal 2022-11-01.
  6. Richard Chauvel (6 April 2011). "Filep Karma and the fight for Papua's future"http://inside.org.au/. Diakses tanggal 18 April 2011. Hapus pranala luar di parameter |work= (bantuan)
  7. "Indonesia releases 2 Papuan political prisoners"The Jakarta Post. Associated Press. 8 July 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-02. Diakses tanggal 2 September 2012.
  8. "Protester killed at independence rally in Papua". Associated Press. 9 August 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 2 September 2012.(perlu berlangganan)
  9. "Filep Karma and Yusak Pakage: imprisoned and beaten"Asian Human Rights Commission. 20 July 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-22. Diakses tanggal 18 April 2011.
  10. Rebecca Henschke (3 August 2010). "Papua activist Filep Karma 'abused in prison'"BBC News. Diakses tanggal 18 April 2011.
  11. "Indonesia 'must address Papua discontent'"BBC News. 3 August 2010. Diakses tanggal 18 April 2011.
  12. "INDONESIA: DENIAL OF MEDICAL CARE FOR FILEP KARMA: HEALTH PROFESSIONAL ACTION"Amnesty International. 5 May 2010. Diakses tanggal 18 April 2011.
  13. "Indonesia: Explain Transfer of Imprisoned Activists"Human Rights Watch. 10 December 2010. Diakses tanggal 18 April 2011.
  14. "Amnesty urges Indonesia to give medical treatment to prisoner of conscience". Radio New Zealand. 20 April 2012. Diakses tanggal 21 April 2012.
  15. "Prisoner of Conscience Receives treatment". Amnesty International. 1 October 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-07. Diakses tanggal 7 October 2012.
  16. Indonesia, CNN (2022-11-01). "Tokoh Papua Filep Karma Ditemukan Meninggal di Pantai Jayapura"nasional. Diakses tanggal 2022-11-01.

Pranala luar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas Kunjunganmu