MESIANIS (KISAH KOYEI DABA)
Koyei Daba (Toko Mesianis Suku Mee) terjadi pada Zaman Pertengahan
Pada zaman ini leluhur suku Mee di Klasis Tigi mempunyai cerita turun-temurun tentang koyeidama, dan koyeidama seorang tokoh mesianis dalam sistim kepercayaan atau religius suku Mee sebelum agama Kristen. Secara Etimologis sebutan koyeidaba dalam tradisi menurut logat, Paniai, Tigi, Kamu dan Mapia selalu menggunakan tiga huruf yang berbeda yaitu Y, H dan S. maka Y adalah Logat orang Paniai, Tigi dan Kamu di sebut “koyei”. Dan H adalah logat orang Mapia Tengah di sebut “Kohei” sedang S adalah logat orang Mapia Utara dan selatan Oge di sebut “Kosei”.
Untuk itu cerita mengenai Koyeidaba adalah seorang manusia yang mengapa Allah dalam sistim-sistim kepercayaan mereka sebelum adanya misionaris dan pemerintah. Untuk itu, koyeidaba ada yang mengatakan ia datang dari surga kembali menjadi manusia dan ada yang mengatakan ia berasal dari Kampung Pugo Moma di kabupaten Paniai bagian selatan, pindah kampung Keniapa, Keniapa ke Kampung Duamo dari Duamo ke Idakebo (Kamu Kabuten Dogiai). Wawancara Bomou 16 September 2010.
Masa pekerjaan Koyei daba
Penulis menjelaskan lebih jauh nomor ini tentang pengertian dari nama “Koyei daba” adalah nama asli dalam sebutan persi orang Tigi. Koyei daba dengan sebutan Damu merupakan suatu sebutan yang sah dan intensif diberikan sesuai dengan perbuatan, pekerjan dan sifat yang di lakukan pada itu. Nama damu tidak boleh di ungkapkan, jangan meraba, jangan di pegang dan di ungkapkan dalam pengertian lain.
Sedangkan Koyei daba adalah salah satu nama olohkan ejehkan pada masa itu. Sebab pengertian koyeidaba adalah nama panggilan terhadap manusia, perempuan dalam logat persi orang Tigi di sebut Toko. Sedangkan daba adalah panggilan suatu benda oknum orang dalam kalangan logat suku Mee yang berarti manusia kecil, perempuan yang di lahirkan adalah ia yang di sebut anak persinahan (mogaiyoka), mengapa Koye daba mengatakan nama olokan ada beberapa sebab: yang pertama: karena ia melakukan segala kegiatan yang bersifat super natural, yang kedua: ia melakukan segala kegiatan yang bersifat transformasi secara totalitas, yang ketiga: ia menyampaikan hal- hal yang bersifat teologis.
Sesuai dengan tradisi lisan menurut orang tua katakan Damu/ Koyeidaba tidak menetap pada satu tempat tetapi ia berjalan keliling di mana- mana seperti: Mapia, Kamu, Tigi, Tage, dan sekitarnya dalam keadaan yang berbeda- beda. Menurut Kilion Pakage mengatakan bahwa: sesuai dengan cerita orang tua yang turun- temurun pada masa koyei daba itu, tidak ada barang segala makanan seperti yang kita makan sekarang, tetapi yang menjadi bahan pokok bagi mereka pada masa itu adalah moke mogo dan Kada kaga, moke mogo adalah salah satu jenis makanan yang berbentuk batu, dan Kada kaga adalah salah satu jenis makanan petatas yang sudah ada sebelum sejarah (Koyei daba) dan selanjutnya ada juga yang mengatakan tubuhnya menjadi produksi makanan pada masa itu, tubuh dan tangan di urut keluarlah segala barang makanan seperti ubi, keladi, pisang, tebu. Dengan melihat kejadian tersebut orang lain anggap bahwa yang di lakukannya adalah tidak bersifat manusiawi, dan yang lain menyembuhkan orang sakit. (melalui wawancara Kilion Pakage Kampung Bomou III tanggal 16-9- 2010).
Dengan adanya hal- hal seperti diatas mereka berdiskusi dan berkata semua makanan yang kita makan di peroleh dari dalam tubuhnya, semua ajaran yang di lakukannya adalah yang bersifat menentang kepada kami jadi marilah kita hendak bersatu untuk membunuh dia. Manusia binatang- binatang, pohon- pohon dan tumbuh- tumbuhan serta yang ada di sekitarnya bersatu membunuh dia dan berkata: Koye daba Wagi dalam bahasa harafia adalah bunuhlah koyei daba. Di situlah awal sejarah sebutan yang asli adalah koyei daba sebagai nama olohkan atau hinaan yang di sebarkan oleh setiap warga yang ada di daerah suku Mee di pedalaman Papua.
Cara Pembunuhan Koyei daba
Cara pembunuhan Koyei Daba dapat diwawancarai oleh para pakar teolog, pemuda dan majelis mengatakan sesuai dengan keputusan mereka, marga Douw diutus untuk cek kembali dimana ia berada pada masa itu. Maka tempat yang mereka bertemu dengan Koyei daba adalah Kampung Eyagai kigi, mama kandung Piter Nela Pekei mengatakan, disitulah ada yang pegang tangan, ada yang pegang kaki, ada yang pegang kepala dan yang lain memukul dia dengan tali, dan yang lain memakotanya dengan duri yang lain merobek pakaian dan yang lain menusuk dia dengan tombak maka tombak itu namanya Dagabi Emu, makhota duri namanya “Tedemai”, sedangkan pakaian itu nama “Doka kapo”.
Seruan Koyei daba
Irenius Edoway menjelaskan bahwa sewaktu mereka membunuh Damu (Koyei daba) ia bersuara dan berkata jikalau kamu membunuh saya jangan bunuh saya dengan sembarang tetapi kamu ambil Touye Mana lalu membunuh saya. Lalu ia mengutus dua orang yang bernama Ipemei dan Tedou ketika mereka dalam perjalanan, mereka mengambil dua buah pohon yahni Bukei dan Ugo sebagai salib untuk menundukkan diatas dia, pada waktu itu yang menjadi pendamping adalah Hikana sampai di mana ia digantungkan atas kayu salib.
Yulius Bobi dalam tesisnya menjelaskan tempat yang mereka bunuh dan gantungkan Damu (Koyei daba) disebut Daupiyapa di Kampung Idakebo Kabupaten Dogiyai. Menurut Bpk Stefanus Giay menjelaskan pesan terakhir yang di sampaikannya adalah (1) anda akan mengalami kesusahan, kelaparan, kesakitan, dan kematian (2) sekarang anda boleh membunuh saya tetapi kita akan bertemu pada keturunan ketujuh kedelapan atau kesembilan. Pada akhirnya tubuhnya dipotong bersama dengan seekor babi jantan namanya Damupai.
Protes terjadinya tumbuh- tumbuhan setelah pembunuhan Damu (Koyei daba)
Menurut tradisi lisan orang tua tentang proses terjadinya tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman yang dapat dikenal dan dipegang sebagai makanan pokok merupakan keseluruhan tubuh koyei daba yang sudah berubah secara kontinyu misalnya: Otak berubah menjadi keladi, mata berubah menjadi sayur hitam, daging berubah menjadi petatas tulang rusuk berubah menjadi pisang, darah berubah menjadi buah merah tulang- tulang berubah menjadi tebuh dan ikan bibir berubah menjadi jamur. (Wawancara Bpk Stefanus Giay di Argapura 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas Kunjunganmu